NEWS UPDATE :  

Jendela Dunia

Jendela Dunia

20 Mar 2019 525

Oleh: Yohanes Baptista


Tak sedikit yang menganggap bahwa literasi itu adalah kegiatan membaca. Faktanya, banyak sekolah yang mengklaim telah berliterasi setelah menggalahkan kegiatan membaca dalam komunitasnya. Padahal literasi jauh lebih luas pengertiannya dari sekedar baca-tulis. Literasi itu adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan potensi dan keterampilan untuk memahami, menganalisis, dan memanfaatkan informasi. Karena itu, Andrew (2012), berpendapat literacy is more than a basic reading ability, but rather an indication of how adults use written instruction to function in society.  Dengan demikian literasi ada banyak jenisnya; ada literasi media, literasi teknologi, literasi cultural, dan lain sebagainya.

 

Mengidentikkan kegiatan literasi dengan membaca tidaklah sepenuhnya sesat. Bagaimanapun juga, membaca adalah langkah pertama dalam berliterasi. Seseorang dapat menjadi literat dalam bidang teknologi tanpa harus literat dibidang kultural. Akan tetapi mustahil membayangkan seseorang literat dibidang teknologi dan kultural tanpa membaca. Membaca itu jendela dunia.

 

Sebagai jendela dunia, membaca mestinya menjadi bagaian terpenting pada era informasi ini. Dikatakan era informasi karena memiliki 5 karakteristik dasar dengan internet sebagai pusatnya sebagaimana proposal Manuael Castel, yakni: Pertama, ada teknologi-teknologi yang bertindak berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang memungkinkan mereka memengaruhi suatu varietas luas proses-proses dan organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi baru sangat fleksibel, memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah secara terus-menerus. Akhirnya, teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi sedang bergabung menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (Ritzer, 2012: 969).

Sayangnya, terdapat kenyataan yang menjadi paradoks dengan tuntutan abad ini. Fenomena-fenomena tersebut terungkap melalui sejumlah studi ilmiah menunjukan bahwa angakatan muda kita saat ini mengalami penurunan minat membaca. Sebagai contoh, hasil survey dari studi Most Littered Nation In the World 2016 yang dilakukan pada tahun 2016  menunjukkan minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara (Tirto, 11/8/2017). Dari data Perpustakaan Nasional tahun 2017 diketahui bahwa frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu dan jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun (CNN, 27/03/2018). Padahal peningkatan kapasitas sumber daya manusia erat kaitannya dengan kemampuan literasi.

 

Sebagai seorang guru, fenomena macam itu muncul juga pada siswa-siswi saya. Dalam dialog informal, mereka mendeskripsikan diri sebagai orang yang sulit duduk dan membaca. Kenyataannya, kebanyakan siswa membaca dengan Sistem Kebut Kemalam (SKS) semata-mata unuk kebutuhan ujian. Fakta itu sangat kontras dengan semangat sekolah untuk pengadaan buku-buku tiap tahunnya; apa lagi pembelanjaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mewajibkannya.

 

Soalnya apa? Menurut saya, masalahnya terletak pada perbedaan penyediaan buku di perpustakaan sekolah dengan ketertarikan siswa terhadap buku-buku tersebut. Siswa senang membaca buku yang mereka sukai, dan perpustakaan sekolah menyediakannya hanya sedikit.

 

Sekolah kadang menyadari bahwa buku yang dibeli hanya akan menjadi pajangan semata. Meski begitu, antara ketiadaan dana dan ketatnya petunjuk teknis BOS, sekolah terpaksa mengadakan buku-buku tersebut tanpa mempertimbangkan ketertarikan siswa. Hasilnya, buku-buku pelajaran dan buku-buku pendukung pembelajaran bertumpuk, berdebu, di perpustakaan sekolah.

 

Persoalan minat baca pada kaum muda di satu sisi, dan percepatan teknologi informasi pada pihak lain adalah satu kontadiksi yang patut diwaspadai. Diwaspadai karena di dunia internet siklus informasi cepat dan padat. Semua jenis informasi ada di sana; yang benar maupun yang tidak.

 

Karena sangat cepat, orang hampir tidak memiliki waktu untuk menganalisi dan memverivikasi informasi-informasi yang ada. Jika tidak memiliki minat baca baik, seseorang tidak akan tergelitik membandingkan satu informasi dari sumber-sumber yang berbeda. Dengan demikian, dia akan  menganggap informasi yang dibaca adalah satu-satu satunya yang benar. Orang-orang macam ini rentan terkena hoax. Dalam hal ini, persoalan minat baca berhubungan lansung integritas diri dalam bingkai kehidupan sosial, termasuk kehidupan berbangsa.

 

Disisi lain, dengan terpusatnya informasi di internet; kemudahan-kemudahan semakin banyak ditawarkan. Bagi mereka yang memiliki minat baca yang baik, ini semacam kunci untuk mereka keluar dari satu pintu menuju pintu yang lain.

 

Jauh sebelum ini, di Negara kepulauan seperti di Indonesia, informasi itu sesuatu yang mahal. Lebih-lebih di pelosok-pelosok. Akan tetapi saat ini, dengan kemajuan teknologi informasi, peluang orang Jakarta sama dengan peluang orang NTT dalam bidang apapun. Anak zaman now bilang dunia ada dalam genggaman. Sederhananya, sebagaimana orang Jakarta menggengam dunia, demikianpun orang NTT. Persoalan yang membedakan antara satu dengan yang lain saat ini terletak pada minat membaca, passion untuk mencari informasi dan kemampuan memanfaatkan informasi tersebut untuk hidupnya. Dalam hal ini, persoalan minat baca berhubungan dengan mutu manusia, kemudahan merebut peluang, dan juga inovasi.

 

Karena itu, hidup di abad 21 semestinya berarti hidup di era membaca. Membaca harus menu wajib bagi orang yang hidup di zaman ini, kalau tidak ingin digilas roda pembangun dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Lantas bagaimana kita mendeskripsikan diri dalam konteks minat membaca saat ini? Jawaban atas pertanyaan reflektif ini, diharakan dapat menjadi kegelisahan kudus untuk memikirkan rencana berkawin dengan membaca. Atau setidaknya menjaga semangat baca yang telah ada dalam diri kita.