NEWS UPDATE :  

KELUARGA SEBAGAI BASIS PENANAMAN NILAI-NILAI PLURALISME

KELUARGA SEBAGAI BASIS PENANAMAN NILAI-NILAI PLURALISME

16 Mar 2019 736 SMAN 2 Borong, Manggarai Timur, Pendidikan Keluarga

Oleh: Yohanes Baptista

Indonesia Adalah sebuah bangsa yang dicirikan dengan kebesaran, keluasan dan kemajemukannya, yang mengikat lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa dan 18.108 (delapan belas ribu seratus delapan) pulau (Sekjen MPR RI, 2017). Kondisi yang demikian, selain sebagai kekuatan juga dapat menjadi ancaman. Karena itu, nilai-nilai dialogis seperti gotong-royong, tolong-menolong, rukun, tepo seliro harus dipelihara sebagai wujud nyata dari nasionalisme. Dapat dikatakan bahwa hanya dengan kesadaran untuk menempatkan diri sebagai satu kesatuan dalam dalam realitas keanekaragaman, semangat cinta tanah air dan semboyan Bhineka Tunggal Ika menampakan realitas empirisnya.

 

Nilai-nilai pluralisme seperti nilai toleransi dan multikultural secara sederhana dipahami sebagai pengakuan dan sekaligus penghormatan atas keberagaman suku, agama dan ras. Nilai-nilai seperti itu, sebagaimana juga nilai demokrasi oleh John Dewey diyakini bukan sesuatu yang terberi tetapi diperoleh melaui internalisasi. Karena pluralisme (seperti juga demokrasi) bukan masalah procedural dan eksistensi; tapi merupakan masalah way of life. Sebagai way of life, hal tersebut mesti dicapai melalui pendidikan (Hanum, 2018).

 

Menarik metafora Nisa, Wayan, Martha dan Chandra yang dipromosikan secara figuratif melalui tokoh kartun oleh Kementerian pendidikan dan kebudayaan dalam akun facebook-nya. Metafora seperti itu, meski mungkin dimaknai secara berbeda-beda (misalnya dimaknai sebagai persahabatan, dan lain-lain); secara penamaan tokoh dapat juga mengambarkan realitas plural dari suku, ras dan agama yang beraneka. Metafora melalui penokohan kartun seperti itu, selain menarik juga praktis.

 

Memang menghidupkan nilai-nilai pluralisme masih diperlukan; bukan saja oleh karena realitas noumenal berupa keanekaragaman, tetapi juga oleh fenomena melunturnya nilai toleransi dan multikultural. Indikasi yang paling kuat berkaitan dengan terkikisnya nilai-nilai pluralisme adalah munculnya sikap eksklusivisme kelompok. Sikap eksklusivisme kelompok terjadi dengan pengandaian, kelompoknya lebih baik dan lebih unggul dari yang lain. Dengan demikian, kaum-kaum eksklusifis gampang tergoda untuk mendemonisasikan (menyetankan) dan menyerang kelompok yang berbeda. Secara empirik, sikap-sikap seperti itu muncul melalui tradisi pengkafiran dan fenomena intoleransi yang menjadi akar dari tindak kekerasan terhadap kelompok yang berbeda.

 

Tentu saja, menyebut tradisi pengkafiran dan fenomena intoleransi yang menjadi akar dari tindak kekerasan tidak dapat dijadikan thesis akhir dalam menilik fenomena sosisal. Karena, tradisi pengkafiran dan fenomena intolenransi (lebih-lebih yang terjadi akhir-akhir ini) tidak dapat secara tunggal dan konvensional dihubungkan begitu saja dengan pemahaman persona terhadap ajaran agama dan kultural; tapi jauh lebih kompleks. Kasarnya persaingan politik dan ekonomi yang secara jorok, absurd dan banal memanfaatkan wacana perbedaan suku, ras dan agama; turut andil menghadirkan hutan rimba kebencian; sekaligus menjadi teladan buruk bagi generasi muda, termasuk anak-anak sekolah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tradisi pengkafiran dan fenomena intoleransi telah merembes ke lingkungan pendidikan.

 

Sekolah, selain sebagai lembaga pendidikan, dapat juga dilihat sebagai miniature dari realitas plural yang terdapat pada masyarakat sekitarnya. Kenyataan yang demikiaan tidak hanya disebabkan oleh perbedaan latar agama dan budaya seseorang, tapi juga Karena secara spesifik potensi-potensi individu, kodisi sosial ekonomi, latar keluarga, dan pilihan politik berbeda. Keunikan- keunikan seperti itu dalam masyarakat tersimbolkan keberadaannya dalam lingkungan persekolahan. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya berbenturnya yang sama sebagaimana yang terjadi di masyarakat terbuka lebar.

 

 

Mendorong Keterlibatan Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok sosial yang dipersatukan oleh pertalian genetik, perkawinan, dan/atau adopsi yang disetujui dan diakui secara sosial maupun hukum. Selain pengakuan sosial dan hukum; secara emosional hubungan antar anggota keluarga ditandai dengan satu persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang. Interaksi para anggota kelompok sosial emosional seperti itu, sangat dominan mempengaruhi pembentukan watak dan prikalu seseorang. Inilah yang dapat menjelaskan peran strategis keluarga dalam mendidik anak agar menjadi pandai, berpengalaman, berpengetahuan, dan berperilaku dengan baik. Sederhananya, perkembangan afeksi anak sangat bergantung dengan pola asah, asuh dan asih  dalam keluarga.  

 

Sebagai kelompok sosial, keluarga adalah persekutuan sekelompok individu yang berbeda-beda. Sebab, tiap orang unik dan berbeda. Sebagai sub-kelompok sosial dari unit persekutuan sosial yang lebih besar, keluarga juga berhubungan dengan keluarga-keluarga yang berbeda dalam lingkungannya. Karena itu hakikat pendidikan keluarga harus menjadi dasar pendidikan budi pekerti, sosial, kewarganegaraan, pembentukan kebiasaan, dan pendidikan intelektual anak. Pada titik ini, anak mestinya terus dilatih, diajarkan dan diberitahu secara terus-menerus tetang realitas plural dunia dan masyarakat sekitar: sekaligus menanamkan pentingnya sikap menerima dan menghargai perbedaan. Pemahaman dasar tentang realitas plural merupakan langkah awal penanaman nilai pluralisme.

 

Menjadi seorang yang pluralis berarti menghormati orang lain tanpa harus kehilangan jati diri. Orang yang didasari nilai pluralisme sesungguhnya merupakan orang yang menciatai agamanya sendiri dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang diyakini tanpa memendang rendah agama dan kebudayaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak pluralis gampang tergoda untuk menyerang dan merendahkan agama dan kebudayaan yang berbeda dari dirinya. Sikap agar agamaku dan budayaku dianggap benar, maka aku harus membuktikan bahawa agama dan budaya lain salah lekat erat dengan seorang yang eksklusivis.

 

Disinilah peran orang tua, anak harus diberi pengertian bahwa perbedaan itu merupakan hakikat; baik suku, agama dan ras. Bahwa Sang Empunya Hidup menciptakan hakikat perbedaan rambut kriting dan rambut air; kulit putih dan kulit hitam; etnis cina, batak, ambon, NTT, dan lain-lain; agama Katolik, Islam, Hindu, dan lain-lain. Penciptaan yang berbeda oleh Sang Empunya Hidup tersebut tidak dalam rangka membuat strata, tapi dalam rangka menunjukan keagungan-Nya. Karena itu, sebagai wujud dari ekspresi keagungan Tuhan setiap orang wajib menghormati perbedaan tersebut. Mind set seperti inilah yang harus dimiliki anak.

 

Memang membangun masayarakat yang dijiwai oleh nilai-nilai pliralisme bukanlah pekerjaan gampang. Membangun masyarakat yang ramah terhadap perbedaan menuntut keterlibatan semua pihak sejak seseorang berada di bangku sekolah. Tanggung jawab tersebut tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya pada pihak sekolah; tapi harus menjadi gerakan bersama semua unsur yang ada dalam trisentra pendidikan (sekolah, masyarakat, utamanya keluarga). Dengan terlibatnya keluarga dalam mendidik anak menjadi seorang yang pluralis, maka seorang anak memiliki bekal dasar untuk hidup berdampingan dan bersosialisasi pada setip lingkungan yang berbeda.

 

Secara sederhana, keluarga-keluarga dapat mengadopsi pola penanaman nilai-nilai pluralisme dengan lima pola asuh sebagaimana yang disaran oleh https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/, yakni: keteladanan, pembiasaan, mendongeng, memanfaatkan momentum, reward dan punishment. Sebelum mulai mendidik anak, orang tua harus memberi keteladan nyata sebagai pemodelan terlebih dahulu. Setelah itu, melalui pembiasaan anak dilatih menghormati siapapun tanpa memandang entitas tertentu dan dimanapun anak berada. Dongeng-dongeng dengan tema yang sesuai juga dapat menjadi cara yang menarik untuk menanamkan sikap positif anak terhadap perbedaan. Momentum yang tepat dapat juga menjadi media pendidikan yang dialami anak secara lansung; anak lansung diberi apresiasi bila memiliki sikap yang positif terhadap perbedaan dan memberi nasehat dan arahan bila bersikap sebaliknya. Apresiasi dan nasehat yang demikian juga dapat dipandang sebagi bentuk reward dan punishment.

 

Salam